Pesantren antara wadah monarki versus moralitas

 


Dalam sejarahnya pesantren muncul dan berkembang sejak awal disebarkannya Islam di nusantara pada abad ke-14 M sebagai pusat dakwah Islam serta pendidikan intelektual dan moralitas umat. maka wajar jika keberadaan Pesantren di tengah masyarakat dianggap sebagai tiang yang kokoh dalam menjaga spiritualitas umat. 

Selayang pandang tentang hal ini ternyata berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini bisa diamati dengan mulai munculnya beberapa kalangan yang mempertanyakan tentang eksistensi Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang dipandang memiliki hierarki kekeluargaan yang sangat kental serta sarat dengan praktek-praktek nepotisme yang lumrah terjadi pada sistem monarki kerajaan. 

Lebih mengerikannya lagi ada tuduhan bahwa pesantren merupakan tempat untuk melanggengkan praktik pembagian kelas-kelas sosial hanya didasarkan pada argumen seseorang dengan garis keturunan yang baik digadang-gadang akan berkehidupan baik. Sebaliknya, anak bramacorah akan digentayangi persepsi “pantas saja nakal, gak jauh-jauh dari bapaknya”

Lantas benarkah semua hal itu...??

Jika belajar dari pengalaman sejarah. Dasar-dasar ini sebenarnya pernah dikemukakan sebagai legalitas pembenar oleh kaum komunis pada kisaran tahun 1920 hingga 1965 untuk mereduksi pengaruh Pesantren terhadap masyarakat. Tapi akankah semua hal itu benar jika dikaji secara mendalam atau hanya sebuah pemahaman sepintas yang dilontarkan untuk tujuan-tujuan kelompok tertentu yang benci dengan kehadiran pesantren di tengah masyarakat.

Pertama, tentang menghargai guru dan keluarganya. Pada pelajaran akhlak yang diajarkan di pesantren ada sebuah kitab yang biasa dikaji oleh para santri yakni kitab karangan syekh Burhanuddin yang berjudul Ta’lim Muta’allim. Kitab tersebut menjelaskan bahwa salah satu cara untuk menghormati guru atau kiai yaitu dengan cara menghormati putera dan semua orang yang bersangkut paut dengannya.

Dalam kitabnya, Syaikh Burhanuiddin pernah bercerita bahwa ada seorang imam besar di Bukhara, pada suatu ketika sedang asyiknya di tengah majlis belajar ia sering berdiri lalu duduk kembali. Setelah ditanyai kenapa demikian, lalu jawabnya:

فقال: إن ابن أستاذى يلعب مع الصبيان فى السكة، ويجيئ أحيانا إلى باب المسجد، فإذا رأيته أقوم له تعظيما لأستاذى.

“Ada seorang putra guruku yang sedang main-main di halaman rumah dengan teman-temannya, bila saya melihatnya sayapun berdiri demi menghormati guruku".

Hal ini menunjukkan bahwa istilah menghormati seorang guru tidak hanya dapat dimaknai secara sempit dengan cara menghormati individu guru itu saja, melainkan juga harus dimaknai secara luas, yakni selain menghormati seorang guru seseorang juga harus menghormati seluruh keluarganya. Mengapa harus sedemikian rupa. hal ini didorong oleh begitu kuatnya jasa besar seorang guru lebih-lebih seorang kiai yang telah dengan sabar mengajari murid meski murid tersebut bukan siapa-siapa bagi guru tersebut. lantas pantaskah seorang murid mempertanyakan untuk apa murid mempertanyakan untuk apa murid harus ikhlas menghormati anak guru padahal jelas itu adalah anak guru yang ikhlas membimbingnya.

Kedua, tentang hidmah atau melayani seorang guru. Adanya tuduhan yang mengatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh santri terhadap kyai dan gurunya merupakan sebuah praktek-praktek penjajahan dan kolonialisme. Tuduhan tersebut sangatlah kejam dan tidak mencerminkan bahwasanya mereka pernah menempa ilmu di pesantren. Padahal maksud dari adanya hikmah dan pelayanan terhadap guru adalah untuk kebaikan dari santri itu sendiri sebagaimana diceritakan dalam kitab ta'lim mutaallim bahwa

إنما وجدت بهذا المنصب بخدمة الأستاذ فإنى كنت أخدم الأستاذ القاضى الإمام أبا زيد الدبوسى وكنت أخدمه وأطبخ طعامه ثلاثين سنة ولا آكل منه شيئا.

“Saya bisa menduduki derajat ini (menjadi ulama), hanyalah berkah saya menghormati guruku. Saya menjadi tukang masak makanan beliau, yaitu beliau Abi Yazid Ad-Dabbusiy, sedang kami tidak turut memakannya".

Hal ini tentu dapat dipahami dan dinalar bahwasanya hanya dengan cara mengabdi santri dapat dekat, mengamati dan selalu menerima ilmu dari sang guru. Selain itu, mengabdi juga merupakan cara santri untuk mendapatkan kasih sayang perhatian dan ridho dari sang guru sehingga sang guru lebih leluasa untuk memberikan ilmu dan pendapat-pendapatnya dan tidak terbatas hanya dikelas tapi juga pada berbagai kesempatan sewaktu murid melayani gurunya.

Ketiga, dalam tuduhan tentang pesantren-pesantren membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Sehingga pesantren-pesantren berusaha mempertahankannya melalui penggabungan dengan pesantren lain melalui pernikahan anak kiai. Hal ini tentu merupakan hal yang lumrah bahkan diantara orang awam sekalipun, semua orang tua pasti ingin anak-anaknya mendapatkan pasangan terbaik terutama dalam hal agama, nasab, dan lain sebagainya. Bahkan Rasulullah Saw memerintahkan hal ini dalam sebuah haditsnya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لاِرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda:
Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.

demikian pendapat yang bisa dijadikan hujjah bagi kaum santri untuk menjaga dan selalu mengamalkan ilmunya. dari renungan di atas Semoga Allah selalu melimpahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat serta menjaga dan menjauhkan kita dari berprasangka buruk, terutama pada kiai dan keluarga ndalem tempat kita bernaung... Amin ya rabbal alamin...

Penulis: Fajrul Falah

0 Comments

Top