Akar
permasalahan umat Islam, termasuk munculnya Syiah bermula dari perselisihan
terkait siapa yang paling layak menjadi pemimpin setelah Rasulullah Saw. wafat.
Karena sebelum wafat, Rasulullah tidak menentukan siapa yang akan
menggantikannya sebagai pemimpin umat dan negara. Padahal kaum muslimin - sesudah
wafatnya Rasul - merasa sangat perlu mempunyai khalifah yang dapat mengikat
umat Islam dalam satu ikatan kesatuan.
Sebelum
Nabi dikebumikan, kaum Ansar
berkumpul di Tsaqifah Bani Saidah. Mereka berpendapat bahwa kaum Ansarlah yang
paling layak menjadi pengganti Rasul, lalu menyodorkan Sa’ad bin Ubadah sebagai
pemimpin. Di waktu yang sama, Umar mengajak Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin
Jarrah berangkat ke pertemuan kaum Ansar. Di hadapan kaum Ansar, Abu Bakar berpidato tentang keistimewaan kaum Ansar
dan Muhajirin. Di antara pidatonya, “Bangsa
Arab tidak akan tunduk kecuali kepada kaum Muhajirin daripada kaum Ansar”. Seusai
perdebatan soal pemimpin, kedua belah pihak secara aklamasi memilih Abu
Bakar menjadi pemimpin mereka. Dengan demikian,
hilanglah perselisihan umat Islam dan kembali
bersatu.[1]
Menurut Ibnu Khaldun, Syiah muncul ketika
Rasulullah SAW wafat. Saat itu, Ali
memandang dirinya lebih berhak memimpin umat Islam. Kekhalifahan hanyalah hak
mereka, bukan untuk orang Quraisy lain. Saat
itu pula sekelompok sahabat Nabi SAW mendukung Ali bin Abi Thalib dan
memandangnya lebih berhak ketimbang yang lain untuk menjadi pemimpin. Namun,
ketika kepemimpinan itu beralih kepada selain Ali, mereka pun mengeluhkan
kejadian itu.[2]
Pendapat lain, Syiah lahir ketika peristiwa Ghadir Khum, yaitu hadis tentang
ke-mawla-an Ali bin Abi Thalib yang diumumkan nabi Saw. di hadapan kaum
muslimin sekembalinya dari haji wada’ di lembah Khum. Hadis Ghadir
Khum adalah pegangan utama di kalangan Syiah yang mempunyai pendirian bahwa
sebelum wafat, Nabi Muhammad Saw. telah mengkader dan menunjuk penggantinya
yakni Ali bin Abi Thalib untuk meneruskan risalah kenabiannya.[3]
Berikut penegasan teks hadis tentang kepemimpinan Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah setelah nabi Saw:
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ[4]
“Barang siapa yang
menjadikan aku sebagai maula-nya, maka Ali adalah maula-nya.”
Hadis Ghadir Khum ini, menurut
orang-orang Syiah dilatarbelakangi oleh turunnya surah al-Maidah ayat 67
sebagai berikut:
يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ
اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ وَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهُ
وَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ
الْكٰفِرِيْنَ[5]
“Wahai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika engkau tidak
melakukan (apa yang diperintahkan itu), berarti engkau tidak menyampaikan
risalah-Nya. Allah menjaga engkau dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”.
Syiah meyakini adanya hubungan erat antara
turunnya ayat tersebut pada hari Ghadir Khum dengan kepemimpinan Ali. Di
antara hal yang menguatkan bukti mengenai ini adalah kenyataan bahwa salat telah didirikan sebelum turunnya ayat itu, zakat pun
sudah diwajibkan, rampungnya pensyariatan puasa, haji pun usai
dilakukan, yang halal telah jelas,
yang haram sudah jelas, syariat telah
teratur, hukum-hukumnya pun sudah tertib. Maka urusan apalagi yang masih harus
ditekankan Allah selain pelimpahan kepemimpinan? Persoalan apa gerangan yang
pengumumannya oleh nabi dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah selain soal
khalifah?[6]
Ada yang menganggap Syiah lahir pada masa akhir
kekhalifahan Utsman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib. Pada masa itu, terjadi
pemberontakan terhadap khalifah Utsman bin Affan yang berakhir dengan
kesyahidan Utsman, dan ada
tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib bersedia dibaiat sebagai khalifah.
Tampaknya pendapat yang paling popular adalah Syiah lahir setelah gagalnya
perundingan antara pihak pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pihak Muawiyah bin
Abu Sufyan di Siffin yang lazim disebut sebagai peristiwa al-Tahkim (arbitrasi).
Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali bin Abi Thalib menentang
kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij
(orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Sebagian besar orang yang tetap
setia kepada khalifah Ali disebut Syiah Ali (pengikut Ali).[7]
Kelompok Syiah awalnya merupakan orang-orang
yang mengagumi Ali bin Abi Thalib sebagai pribadi dan berkedudukan istimewa di
sisi Rasulullah SAW, sehingga ia mempunyai pengaruh yang besar dan muncullah
rasa cinta sebagian kaum muslim kepadanya. Sebagian sahabat yang mencintainya
menganggap Ali bin Abi Thalib merupakan sosok paling utama di antara para
sahabat, dan dialah yang paling berhak atas kedudukan khalifah daripada yang
lainnya. Namun, kecintaan itu telah bergeser menjadi fanatisme buta selama dua
abad setelahnya. Sehingga menjadi perbedaan yang besar dan esensial antara
pandangan kelompok sahabat tersebut terhadap Ali bin Abi Thalib dengan
prinsip-prinsip yang dianut oleh kaum Syiah dua abad kemudian.[8]
Berdasarkan penjelasan di atas, adalah kekeliruan
besar bagi kaum Syiah yang fanatis, yang menganggap
bahwa sahabat-sahabat yang mencintai Ali bin Abi Thalib merupakan pengikut Syiah
yang menghukumi kafir para sahabat sebagaimana doktrin yang muncul belakangan ini.[9]
Menurut Murtadha Mutahhari –ulama Syiah– “Ali
bin Abi Thalib adalah sahabat nabi sama seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan dan yang lainnya. Tetapi, Ali
lebih berhak, lebih terdidik, lebih saleh dan lebih berkemampuan daripada para sahabat lainnya, dan nabi pun telah
merencanakannya sebagai pengganti beliau. Kaum Syiah
meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam yang berhak atas kepemimpinan politis dan
otoritas keagamaan”. Dengan kata lain, mereka meyakini orang yang berhak atas
otoritas spiritual dan politis dalam komunitas Islam pasca nabi adalah Ali bin
Abi Thalib beserta keturunannya.[10]
Sedangkan menurut Thabathaba’i, Syiah muncul
karena kritik dan protes terhadap dua masalah dasar Islam, yaitu berkenaan
dengan pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan keagamaan yang
menurut Syiah menjadi hak istimewa ahlul bait.[11]
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa orang-orang Syiah pada awalnya ialah
orang-orang yang mencintai nabi Saw. dan keturunannya. Bahkan mereka
berlomba-lomba untuk memuliakan ahlul bait yang termotivasi dari
penjelasan Rasulullah Saw. sendiri terkait beberapa tafsir ayat seperti surah al-Bayyinah. Dengan kata lain, cikal bakal Syiah dalam arti orang-orang yang
mencintai ahlul bait telah ada sejak Rasulullah Saw. hidup. Kemudian
golongan Syiah ini mengalami perluasan makna pada pemilihan khalifah di
Tsaqifah bani Saidah. Mereka mengusulkan nama Ali bin Abi Thalib sebagai
pengganti Rasulullah Saw. Fakta ini kemudian muncul kembali pada perang Siffin
yang menghasilkan arbitrase di antara kedua belah pihak. Nah, pada saat inilah kelompok Syiah
mendukung Ali secara terang-terangan, bukan sekadar mengagumi seperti sebelumnya.
Paham seperti ini yang muncul hingga sekarang sebagai sebuah madzhab dan
teologi dalam Islam.[12]
Editor: Aham
[1] Ahmad Atabik, Melacak Historitas
Syi’ah (Asal Usul, Perkembangan dan Aliran-alirannya). Jurnal Al-Firkah vol
3 (2015), 330.
[2] Oki Setiana Dewi, Syiah: Dari
Kemunculan Hingga Perkembangan di Indonesia. Jurnal Studi al-Qur’an vol. 12
(2016) 220.
[3] Izzuddin
Washil, Hadis Gadir Khum dalam Pandangan Syiah dan Sunnah. Al-Dzikra Vol
12, no. 1, Juni, 2018, 52-53.
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassisah al-Risalah, Cet 1, 2001), juz 2, 71.
[5] Al-Maidah,
67.
[6] Izzuddin
Washil, Hadis Gadir Khum dalam Pandangan Syiah dan Sunnah. Al-Dzikra Vol
12, no. 1, Juni, 2018, 56.
[7] Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib
al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-Aqaid. (Kairo: Dar al-Fikr, t.t), 30.
[8] Ahmad Atabik, Melacak Historitas
Syi’ah (Asal Usul, Perkembangan dan Aliran-alirannya). Al-Firkah vol 3
(2015), 332.
[9] Ahmad
Atabik, Melacak Historitas Syi’ah (Asal Usul, Perkembangan dan
Aliran-alirannya). Al-Firkah vol 3 (2015), 332
[10] Tim Penulis Pusat, Mengenal dan
Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia. (Depok: Gema Insani, 2013),
18
[11] Ibid, 19
[12] Oki Setiana Dewi, Syiah: Dari
Kemunculan Hingga Perkembangan di Indonesia. Jurnal Studi al-Qur’an vol. 12
(2016) 222.