Keragaman dalam sebuah
bangsa bukan hal yang diminta atau diusahakan, tetapi sebuah anugerah atau
kehendak Tuhan. Keberagaman yang ada bukan untuk dihindari dan ditolak, tetapi
untuk diterima dan dihargai. Bangsa kita, bangsa Indonesia adalah negara dengan
keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya
di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat, ada
ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal
yang diantu oleh di Indonesia.
Keberagaman dalam
masyarakat Indonesia akan mempengerahui keragaman dalam pandangan, keyakinan,
dan kepentingan masing-masing masyarakat, termasuk dalam beragama. Dari
keberagaman tersebut ada satu bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia, sehingga
berbagai keragaman keyakinan tersebut masih dapat dikomunikasikan, dan
karenanya antar masyarakat bangsa dapat saling memahami satu sama lain. Walaupun
begitu, gesekan akibat keliru memhami akan keberagaman itu tak urung kadang
terjadi.
Sedangkan dalam
keberagamaan, sering juga terdapat keragaman penafsiran atas ajaran agama,
khususnya ketika berkaitan dengan praktik dan ritual keagamaan. Umumnya,
masing-masing penafsiran ajaran agama itu memiliki penganutnya yang meyakini
kebenaran atas tafsir yang dipraktikkannya. Hal ini yang akan menjerumuskan
mereka pada perselisihan dan pertikaian yang tiada akhir. Akan tetapi Indonesia
masih tergolong aman terhadap konflik-konflik besar karena gesekan akan
keberagaman, Indonesia masih berhasil keluar dari konflik, dan kembali pada
kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa besar,
bangsa yang dianugerahi keragaman oleh Allah SWT.
Keberhasilan keluar dari
perselisihan-perselisihan kecil, harusnya tidak membuat warga Indonesia santai
dan menganggap kecil masalah tersebut, justru seluruh warga Indonesia harus
waspada karena sewaktu-waktu akan menjadi ancaman terbesar yang dapat memecah
belah bangsa hingga tak tersisa. Konflik berlatar belakang agama sepertinya
akan menjadi faktor terbesar terjadinya perselisihan antar warga bangsa. Mengapa?
Karena agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang
sarat dengan muatan emosi, dan subjektivitas tinggi, sehingga hampir selalu
melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan bagi pemeluk fanatiknya,
agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan keramat. Bukan justru
menuntun pada kehidupan yang tenteram dan damai, fanatisme terhadap kebenaran
tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara
pemeluk agama.
Solusi terbaik untuk bisa
menengahi perselisihan dan pertikaian akan keberagaman dan keberagamaan adalah
sikap moderat. Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua
kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem
meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat
penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain,
ada juga umat beragama yang ekstrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian
agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi Tang
tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem
liberal. Keduanya perlu dimoderasi. Sikap ekstrem biasanya akan muncul manakala
seorang pemeluk agama tidak mengetahui adanya alternatif kebenaran tafsir lain
yang bisa ia tempuh. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi sangat
penting untuk dijadikan sebagai sebuah cara pandang (perspektif) dalam
beragama.
Moderasi sangat dibutuhkan
mengapa? Setidaknya ada tiga alasan besar mengapa moderasi penting diterapkan
dalam mengatasi gesakan keberagaman dan keberagamaan: Pertama, salah
satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai
makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan
nyawanya. Itu mengapa setiap agama selalu membawa misi damai dan keselamatan.
Untuk mencapai itu, agama selalu menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam
berbagai aspek kehidupan; agama juga mengajarkan bahwa menjaga nyawa manusia
harus menjadi prioritas; menghilangkan satu nyawa sama artinya dengan
menghilangkan nyawa keseluruhan umat manusia.
Kenyataannya orang yang
ekstrem dalam beragama tidak jarang terjebak dalam praktik beragama atas nama
Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja seraya mengenyampingkan aspek
kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini rela merendahkan sesama manusia
“atas nama Tuhan”, padahal menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari
inti ajaran agama. Jadi, dalam hal ini, pentingnya moderasi beragama adalah
karena ia menjadi cara mengembalikan praktik beragama agar sesuai dengan
esensinya, dan agar agama benar-benar berfungsi menjaga harkat dan martabat
manusia, tidak sebaliknya.
Kedua, seiring berkembangnya
zaman, manusia semakin bertambah dan beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa,
beraneka warna kulit, tersebar di berbagai negeri dan wilayah. Seiring dengan
perkembangan dan persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar.
Teks-teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran menjadi beranak pinak;
sebagian pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada esensi dan hakikat
ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran versi yang
disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan kepentingan politiknya.
Maka, konflik pun tak terelakkan. Konteks ini yang menyebabkan pentingnya
moderasi beragama, agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik berlatar
agama.
Ketiga, khusus dalam konteks
Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam
merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para
pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam
berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis,
bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak
memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga,
dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum
agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan
dengan rukun dan damai.
Itulah sesungguhnya jati
diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun,
toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Ekstremisme dan radikalisme
niscaya akan merusak sendi-sendi keindonesiaan kita jika dibiarkan tumbuh
berkembang. Karenanya, moderasi beragama amat penting dijadikan cara pandang.
Penulis: Fajrul Falah (staff Ma'had Aly Nurul Islam)
0 Comments