Oligarki dalam Demokrasi Pancasila

 



       Kata oligarki saat ini mulai ramai dibincangkan oleh lembaga dan para pengamat politik Indonesia. Oligarki adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golonga atau kelompok tertentu. Sehingga, suatu pemerintahan yang terdapat praktik oligarki, membuat kekuasaan seorang pemimpin menjadi terhalang dan dibatasi bahkan diatur oleh kelompok elite politik.

 Bila mengaca pada sejarah, praktik oligarki pernah terjadi semenjak masa khilafah Abbasiah. Ketika khalifah ke-12 Abbasiah (al-Musta’in) menggantikan khalifah al-Muntashir. Para jenderal Turki mendominasi kekuasaan setelah berhasil membunuh al-Mutawakkil dan al-Muntashir, mereka juga berhasil mengintervensi al-Musta’in.

Sejak jenderal Turki berhasil mendominasi kekuasaan, sebenarnya Dinasti Abbasiyah telah usai. Para khalifah berikutnya dikontrol oleh para jenderal Turki tersebut. Siapa yang menjadi pemimpin dan siapa yang diturunkan, para jenderal itulah  yang menentukan. Imam Suyuthi menggambarkan kepemimpinan al-Musta’in pada saat itu dalam sya’ir;

خليفة في قفص   بين وصيف وبغا

يقول ما قالا له   كما تقول الببغا

“Seorang khalifah dalam sangkar diantara Washif dan Bagha. Ia hanya mengatakan apa yang mereka berdua katakan, sebagaimana burung Beo berkata.”

Oligarki dalam pemerintahan Demokrasi Pancasila, juga marak terjadi. Meski terkadang beberapa orang tidak menyadarinya. Mereka yang meletakkan dana besar untuk menentukan kebijakan politik dan memilih pejabat publik adalah termasuk praktik oligarki kapital. Sehingga, kekuasaan politik ditentukan oleh mereka yang memiliki kekayaan.

Mereka yang memiliki kekayaan seakan mudah untuk menjadi pemimpin atau menjadi penentu terpilihnya seorang pemimpin. Mereka berani mengucurkan dana besar besaran agar dapat meraih kekuasaan dalam politik ataupun ekonomi. Dalam politik contohnya ketika diadakannya pilkada, kerap kali pemenang diraih oleh mereka yang memiliki kekayaan.

Hal serupa pernah dikatakan oleh koordinator ICW, Teten Masduki, bahwa pemenang Pemilu adalah pemilik uang banyak. Pilkada ataupun Pemilu dapat menjadi kesempatan bagi kelompok elite politik untuk mengambil keuntungan dalam mempertahankan posisi politiknya, yang nantinya akan menambah pundi-pundi kekayaaanya.

Menurut Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin, pemilihan kepala daerah (PILKADA) menjadi ladang kontestasi potensial bagi praktik penghamba kalangan elite global.

UU Cipta Kerja tetap disahkan, meski sebagian besar buruh telah menolak dengan berbagai cara. Pelayanan kesehatan yang buruk terhadap masyarakat, akses pendidikan yang tidak merata, menjadi bukti nyata bahwa sistem oligarki kapital memberi dampak negatif terhadap hak asasi masyarakat Indonesia.

Praktik oligarki ini memang juga bedampak pada hak asasi masyarakat indonesia.  Hak-hak masyarakat akan terhalang dan terciderai jika kelompok elite mendominasi kekuasaan. Tak peduli seberapa keras suara rakya menjerit, jika hal itu merugikan sang penguasa tak akan didengar. Sehingga penting bagi kita untuk selalu menyuarakan hak rakyat dan berkoar bahwa oligarki adalah praktik yang sangat merugikan.

Praktik oligarki juga dapat menjadi sebab runtuhnya sebuah negara. Sebagaimana oligarki politik yang didominasi oleh Washif dan Bagha untuk mendapatkan kekuasaan khalifah al-Musta’in dan berhasil meruntuhkan dan menguasai secara de facto dinasti Abbasiyah. Atau sebagaimana negara Uni Soviet yang terpecah sebab oligarki militer yang dilakukan oleh pasukannya sendiri, hingga menjadi beberapa negara.

Tentunya, demokrasi pancasila tak boleh dirasuk oleh praktik oligarki. Sudah saatnya bagi Indonesia untuk menjadi negara yang benar-benar menjunjung nilai pancasila. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh rakyatnya. Nilai-nilai yang mengedepankan moral dan kemanusiaan. Tentu, hal ini butuh kesadaran dari seluruh individu untuk menggapai tujuan yang sama.

Penulis: Rafidan Abdillah (Mahasantri Ma'had Aly Nurul Islam)


 

 

0 Comments

Top