LOGIKA CACAT MUJASSIMAH

 

Sebuah argumen dibentuk atas premis-premis dan kesimpulan. Premis dapat juga berupa alasan, bukti yang mendukung, atau pengakuan. Dalam ilmu mantiq, premis dikenal sebagai muqoddimah. Proses menarik kesimpulan dari premis-premis disebut penalaran. Proses penalaran ini dibagi menjadi dua, Induktif dan Deduktif. Namun, tulisan ini hanya fokus membahas penalaran deduktif.

 

   Deduktif adalah bentuk penalaran dan argumen yang kesimpulan di dalamnya pasti mengikuti premis-premis, jika premisnya benar maka, kesimpulan yang didapat pasti benar. Berikut contoh mendasar penalaran deduktif:
  
    Premis 1: Manusia adalah makhluk fana. 
    Premis 2: Plato adalah manusia. 
Kesimpulan: Plato adalah makhluk fana. 

   Kedua premis di atas adalah benar. Maka, kesimpulan yang didapat pasti benar. Selanjutnya penalaran ini kita terapkan pada pola pikir mujasssimah. Ketika kita menemukan argumen yang benar maka, kita menemukan proses berfikir yang benar atau sehat. Namun, sebaliknya ketika kita menemukan argumen yang keliru, kita menemukan proses berfikir yang keliru atau cacat. 

   Lalu bagaimana dengan logika Mujassimah ? 
  
   Mujassimah adalah sekte yang berpandangan bahwa Allah adalah Jisim. Pengikut sekte ini disebut sebagai Mujassim. Ajarannya disebut tajsim. Sedangkan Jisim adalah anggota badan manusia, hewan dan segala yang berukuran besar. Menurut ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Al-mufrodat fi Ghorib al-Qur’an, jisim adalah sesuatu yang memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Dengan artian bahwa mujassimah menganggap dan meyakini bahwa sesuatu yang wujud (ada) itu pasti punya bentuk fisik (jisim).

   Dalam hal ini tampak jelas kecacatan pola pikir mujassimah, bahwa sebenarnya sesuatu yang wujud (ada) itu ada yang jisim ada yang tidak. Seperti halnya arodh (entitas aksidental), salah satunya adalah sifat. Apakah sifat itu punya bentuk fisik (jisim)?. Tentu akal yang sehat mengatakan sifat itu tidak punya bentuk.

 

   Lalu apakah sifat itu tidak wujud?. Tentu saja sifat itu wujud meski tidak tersusun atau terbentuk. Marah adalah sifat, namun bagaimana bentuk marah?, tentu tidak ada yang bisa menjawab. Karena marah adalah sifat, dan adanya sifat adalah tidak tersusun atau berbentuk. 

   Maka karena hal ini, logika mujassimah yang mengatakan semua yang wujud itu jisim adalah logika yang cacat. Sehingga ketika mujassimah menyimpulkan ayat yang menjelaskan tentang wujud Allah:
 
 لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ البَصِيْرُ  
 
   Mereka mengartikan bahwa tidak ada satupun yang bentuknya sama atau serupa dengan Allah, Allah melihat dengan mata yang tidak ada satupun yang sama, dan Allah mendengar melalui telinga yang tidak ada satupun yang sama. Dalam artian Allah adalah jisim yang tidak sama dengan jisim lainnya.

  

   Hal ini tidak dapat dibenarkan dalam logika, karena mujassimah menggunakan premis atau muqoddimah yang salah. Yaitu, segala sesuatu yang wujud pasti punya bentuk (jisim), termasuk Allah. Sehingga kesimpulan yang muncul adalah mengikuti premis yang digunakan, salah.Dalam artian, mujassimah memiliki akal yang tak sehat atau cacat, karena menggunakan premis berdasarkan keyakinan atau anggapan yang salah mutlak. 


   Lalu bagaimanakah logika yang sehat?. 
 
   Logika yang sehat akan mengatakan wujudullah dan wujud makhluk adalah berbeda. Karena premis yang menjadi dasar adalah ayat dari al-Qur’an. Dalam artian wujud Allah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah sendiri. Tidak berdasarkan anggapan pribadi. Sebagaimana ketika ulama’ ahlussunnah wal jama’ah mengartikan ayat: 

           لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ البَصِيْر

    
   Ulama’ ahlussunnah wal jam’ah tidak menggunakan anggapan pribadi dalam mengartikan ayat ini. Seperti Imam Sanusi mengartikan bahwa ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah itu berbeda dengan makhluknya dari segala sisi, baik dari dzat maupun sifat.

 

   Sehingga kesimpulan yang muncul adalah Allah mempunyai sifat melihat dan mendengar dalam arti yang berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan artian ayat ini mengatakan bahwa Allah berbeda dengan seluruh makhluknya, termasuk makhluknya yang berupa jisim. Ulama’ ahlusunnah menggunakan premis-premis yang benar. Karena premis yang menjadi dasar dalam menjelaskan wujud Allah adalah berdasarkan firman Allah. 

   Semoga bermanfaat. 

   Penulis: Rafidan Abdillah (Mahasantri Ma'had Aly Nuris)

 



 Daftar Pustaka
Mandur, Ibnu. Lisanul Arab
Al-Ahdhori, Abdurrahman. Sullam Munawwoq fi Fannil Mantiq. 
Dasuqi, Muhammad. Dan Sanusi, Muhammad. Hasyiah Dasuqi ala Ummul Barohin. Indonesia: Jaya Haramain

0 Comments

Top