Pemahaman yang Salah Tentang Hadis ‘Sampaikanlah Dariku Walau Hanya Satu Ayat’


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
 مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ .(صحيح البخارى 4/ 170) 
“Dari Abdillah bin ‘Amr sesungguhnya Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. Ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari bani Israil dan tidak apa-apa (dosa). Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka bersiaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. al-Bukhari) 

            Hadis di atas biasanya dijadikan acuan oleh da’i (pendakwah) anyaran. Mereka beranggapan bahwa berdakwah adalah sebuah kewajiban meskipun ilmunya sangat minim. Dengan bermodalkan satu ayat lantas mereka berani berfatwa menghukumi bid’ah-sunah, halal-haram, sesat-selamat dan sebagainya. Alasan mereka menyampaikan itu semua berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw di atas adalah perintah berdakwah. Dan akhirnya dalam dakwahnya bukan ilmu yang didapat, tapi sesat menyesatkan karena berfatwa tanpa dilandasi ilmu. 

            Sementara itu, ilmu-ilmu dalam agama Islam sangat luas dan bercabang. Tidak cukup hanya dengan memahami satu ayat. Tetapi harus faham betul ilmu agama, baru disampaikan. Namun pada kenyataannya, asalkan ngomonnya sudah lancar, bahasanya enak, tampilannya meyakinkan, meskipun ilmunya baru satu ayat (pas-pasan) sudah berani mengklaim dirinya seorang da’i. Yang benar adalah untuk menjadi da’i ilmunya harus sudah mumpuni, matang dan mendapat ijazah (pengakuan) dari gurunya. Dengan demikian fatwanya dapat dibenarkan dan tidak menyesatkan. 

            Konteks hadis di atas jika dipotong seperti yang biasa kita dengar ‘Balligu ‘Anni walau Ayah’ (sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat) seakan-akan memang menganjurkan kita untuk berdakwah (menyampaikan ilmu) meskipun hanya hafal satu ayat, namun apabila menelik lebih dalam lagi sesuai penjelasan ulama maksud hadis di atas tidak seperti itu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa maksud hadis tersebut adalah sebagai berikut: 

            Pertama, hadis di atas menjelaskan tentang penyampaian informasi. Bahwasanya Nabi Muhammad Saw tidak selalu menyampaikan wahyu di hadapan semua sahabat. Tapi adakalanya ketika Nabi Muhammad Saw menyampaikan wahyu di hadapan dua, tiga atau lima sahabat. Terkadang juga menyampaikannya di masjid yang mana tidak semua sahabat hadir pada waktu itu. Karena itu Nabi Muhammad Saw bersabda:
 وَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الغَائِبَ. (صحيح البخاري 1/ 32) 
 “Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (HR. Bukhari) 

            Maka konteks ‘sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat’ adalah perintah kepada sahabat yang hadir dan mendengar pada waktu itu agar menyampaikan kepada sahabat yang tidak hadir. (Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari). 

            Kedua, hadis di atas juga menjelaskan bahwa apa yang disebar juga bukan hanya dari Rasulullah Saw, akan tetapi dari Bani Israil. Pada kenyataannya ketika menyampaikan hadis ini sering kali dipotong mungkin karena ada kata ‘Bani Israil’. Maka hadis di atas secara tersirat menganjurkan kita ketika menyampaikan informasi jangan setengah-setengah. Apa yang didengar yang seperti itu juga disampaikan jangan dikurangi apalagi diubah isinya. Jangan karena tidak suka dengan kelompok tertentu pendapatnya tidak disampaikan. Tentu saja ini perbuatan tidak benar karena kabar dari Bani Israil saja tidak mengapa disampaikan sebagaimana sahabat menyampaikan apa yang mereka peroleh dari Nabi Muhammad Saw. 

            Ketiga, dalam hadis di atas terdapat larangan, yaitu berbohong atau berfatwa atas nama Nabi Muhammad Saw, padahal pada kenyataannya tidak seperti yang dituduhkan itu. Jelas orang seperti ini dijamin masuk neraka karena Allah Swt sudah menyiapkan tempatnya. Oleh karena itu, dengan membaca teks hadis di atas secara utuh dapat dipahami bahwa itu bukanlah hadis tentang kewajiban berdakwah apalagi berfatwa hanya dengan satu ayat melainkan perintah kepada sahabat untuk menyampaikan apa yang telah mereka dengar kepada sahabat lain yang tidak hadir pada waktu itu. 
Semoga bermanfaat.

Penulis: Agus Subairi (Mahasantri Ma'had Aly Nuris)

 Daftar Pustaka: 

Al-Asqallani, Ibnu Hajar. 1960. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Bukhari, Imam. 2001. Shahih al-Bukhari juz 4. Beirut: Dar Thaq al-Najah. 




0 Comments

Top