Sejarah, Kemunculan Syiah!

 


Akar permasalahan umat Islam, termasuk munculnya Syiah bermula dari perselisihan terkait siapa yang paling layak menjadi pemimpin setelah Rasulullah Saw. wafat. Karena sebelum wafat, Rasulullah tidak menentukan siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat dan negara. Padahal kaum muslimin - sesudah wafatnya Rasul - merasa sangat perlu mempunyai khalifah yang dapat mengikat umat Islam dalam satu ikatan kesatuan.

Sebelum Nabi dikebumikan, kaum Ansar berkumpul di Tsaqifah Bani Saidah. Mereka berpendapat bahwa kaum Ansarlah yang paling layak menjadi pengganti Rasul, lalu menyodorkan Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin. Di waktu yang sama, Umar mengajak Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah berangkat ke pertemuan kaum Ansar. Di hadapan kaum Ansar, Abu Bakar berpidato tentang keistimewaan kaum Ansar dan Muhajirin. Di antara pidatonya, “Bangsa Arab tidak akan tunduk kecuali kepada kaum Muhajirin daripada kaum Ansar. Seusai perdebatan soal pemimpin, kedua belah pihak secara aklamasi memilih Abu Bakar menjadi pemimpin mereka. Dengan demikian, hilanglah perselisihan umat Islam dan kembali bersatu.[1]

Menurut Ibnu Khaldun, Syiah muncul ketika Rasulullah SAW wafat. Saat itu, Ali memandang dirinya lebih berhak memimpin umat Islam. Kekhalifahan hanyalah hak mereka, bukan untuk orang Quraisy lain. Saat itu pula sekelompok sahabat Nabi SAW mendukung Ali bin Abi Thalib dan memandangnya lebih berhak ketimbang yang lain untuk menjadi pemimpin. Namun, ketika kepemimpinan itu beralih kepada selain Ali, mereka pun mengeluhkan kejadian itu.[2]

Pendapat lain, Syiah lahir ketika peristiwa Ghadir Khum, yaitu hadis tentang ke-mawla­-an Ali bin Abi Thalib yang diumumkan nabi Saw. di hadapan kaum muslimin sekembalinya dari haji wada’ di lembah Khum. Hadis Ghadir Khum adalah pegangan utama di kalangan Syiah yang mempunyai pendirian bahwa sebelum wafat, Nabi Muhammad Saw. telah mengkader dan menunjuk penggantinya yakni Ali bin Abi Thalib untuk meneruskan risalah kenabiannya.[3] Berikut penegasan teks hadis tentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah setelah nabi Saw:

مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ[4]

“Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maula-nya, maka Ali adalah maula-nya.”

Hadis Ghadir Khum ini, menurut orang-orang Syiah dilatarbelakangi oleh turunnya surah al-Maidah ayat 67 sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ وَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهُ وَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ[5] 

Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika engkau tidak melakukan (apa yang diperintahkan itu), berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjaga engkau dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”.

Syiah meyakini adanya hubungan erat antara turunnya ayat tersebut pada hari Ghadir Khum dengan kepemimpinan Ali. Di antara hal yang menguatkan bukti mengenai ini adalah kenyataan bahwa salat telah didirikan sebelum turunnya ayat itu, zakat pun sudah diwajibkan, rampungnya pensyariatan puasa, haji pun usai dilakukan, yang halal telah jelas, yang haram sudah jelas, syariat telah teratur, hukum-hukumnya pun sudah tertib. Maka urusan apalagi yang masih harus ditekankan Allah selain pelimpahan kepemimpinan? Persoalan apa gerangan yang pengumumannya oleh nabi dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah selain soal khalifah?[6]

Ada yang menganggap Syiah lahir pada masa akhir kekhalifahan Utsman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu, terjadi pemberontakan terhadap khalifah Utsman bin Affan yang berakhir dengan kesyahidan Utsman, dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib bersedia dibaiat sebagai khalifah. Tampaknya pendapat yang paling popular adalah Syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pihak Muawiyah bin Abu Sufyan di Siffin yang lazim disebut sebagai peristiwa al-Tahkim (arbitrasi). Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali bin Abi Thalib menentang kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Sebagian besar orang yang tetap setia kepada khalifah Ali disebut Syiah Ali (pengikut Ali).[7]

Kelompok Syiah awalnya merupakan orang-orang yang mengagumi Ali bin Abi Thalib sebagai pribadi dan berkedudukan istimewa di sisi Rasulullah SAW, sehingga ia mempunyai pengaruh yang besar dan muncullah rasa cinta sebagian kaum muslim kepadanya. Sebagian sahabat yang mencintainya menganggap Ali bin Abi Thalib merupakan sosok paling utama di antara para sahabat, dan dialah yang paling berhak atas kedudukan khalifah daripada yang lainnya. Namun, kecintaan itu telah bergeser menjadi fanatisme buta selama dua abad setelahnya. Sehingga menjadi perbedaan yang besar dan esensial antara pandangan kelompok sahabat tersebut terhadap Ali bin Abi Thalib dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh kaum Syiah dua abad kemudian.[8]

Berdasarkan penjelasan di atas, adalah kekeliruan besar bagi kaum Syiah yang fanatis, yang menganggap bahwa sahabat-sahabat yang mencintai Ali bin Abi Thalib merupakan pengikut Syiah yang menghukumi kafir para sahabat sebagaimana doktrin yang muncul belakangan ini.[9]

Menurut Murtadha Mutahhari –ulama Syiah– “Ali bin Abi Thalib adalah sahabat nabi sama seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan yang lainnya. Tetapi, Ali lebih berhak, lebih terdidik, lebih saleh dan lebih berkemampuan daripada para sahabat lainnya, dan nabi pun telah merencanakannya sebagai pengganti beliau. Kaum Syiah meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam yang berhak atas kepemimpinan politis dan otoritas keagamaan”. Dengan kata lain, mereka meyakini orang yang berhak atas otoritas spiritual dan politis dalam komunitas Islam pasca nabi adalah Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya.[10]

Sedangkan menurut Thabathaba’i, Syiah muncul karena kritik dan protes terhadap dua masalah dasar Islam, yaitu berkenaan dengan pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan keagamaan yang menurut Syiah menjadi hak istimewa ahlul bait.[11]

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa orang-orang Syiah pada awalnya ialah orang-orang yang mencintai nabi Saw. dan keturunannya. Bahkan mereka berlomba-lomba untuk memuliakan ahlul bait yang termotivasi dari penjelasan Rasulullah Saw. sendiri terkait beberapa tafsir ayat seperti surah al-Bayyinah. Dengan kata lain, cikal bakal Syiah dalam arti orang-orang yang mencintai ahlul bait telah ada sejak Rasulullah Saw. hidup. Kemudian golongan Syiah ini mengalami perluasan makna pada pemilihan khalifah di Tsaqifah bani Saidah. Mereka mengusulkan nama Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasulullah Saw. Fakta ini kemudian muncul kembali pada perang Siffin yang menghasilkan arbitrase di antara kedua belah pihak. Nah, pada saat inilah kelompok Syiah mendukung Ali secara terang-terangan, bukan sekadar mengagumi seperti sebelumnya. Paham seperti ini yang muncul hingga sekarang sebagai sebuah madzhab dan teologi dalam Islam.[12]

Editor: Aham


[1] Ahmad Atabik, Melacak Historitas Syi’ah (Asal Usul, Perkembangan dan Aliran-alirannya). Jurnal Al-Firkah vol 3 (2015), 330.

[2] Oki Setiana Dewi, Syiah: Dari Kemunculan Hingga Perkembangan di Indonesia. Jurnal Studi al-Qur’an vol. 12 (2016) 220.

[3] Izzuddin Washil, Hadis Gadir Khum dalam Pandangan Syiah dan Sunnah. Al-Dzikra Vol 12, no. 1, Juni, 2018, 52-53.

[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassisah al-Risalah, Cet 1, 2001), juz 2, 71.

[5] Al-Maidah, 67.

[6] Izzuddin Washil, Hadis Gadir Khum dalam Pandangan Syiah dan Sunnah. Al-Dzikra Vol 12, no. 1, Juni, 2018, 56.

[7] Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-Aqaid. (Kairo: Dar al-Fikr, t.t), 30.

[8] Ahmad Atabik, Melacak Historitas Syi’ah (Asal Usul, Perkembangan dan Aliran-alirannya). Al-Firkah vol 3 (2015), 332.

[9] Ahmad Atabik, Melacak Historitas Syi’ah (Asal Usul, Perkembangan dan Aliran-alirannya). Al-Firkah vol 3 (2015), 332

[10] Tim Penulis Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia. (Depok: Gema Insani, 2013), 18

[11] Ibid, 19

[12] Oki Setiana Dewi, Syiah: Dari Kemunculan Hingga Perkembangan di Indonesia. Jurnal Studi al-Qur’an vol. 12 (2016) 222.

0 Comments

Top