Pengertian Penambahan Umur dalam Hadis Silaturrahmi

 


Termasuk perkara gaib yang wajib kita imani adalah kematian. Kematian merupakan sesuatu yang pasti akan dialami oleh semua makhluk yang bernyawa. Kematian datang secara tiba-tiba, tidak ada yang tahu kapan waktunya, tempatnya dimana, dalam kondisi bagaimana, tidak pandang siapa, baik kaya atau miskin, tampan atau jelek, bahkan presiden sekalipun semua akan mati, tidak ada satupun yang bisa menghidar darinya. Allah Swt berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ...

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran [3]: 138)

Dalam ayat lain disebutkan

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُوْنَ

“Sesungguhnya kamu (Muhammad) akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS. Al-Zumar [39]: 30)

            Meskipun seseorang mati terbunuh, kecelakaan dan jatuh dari pohon sekali pun semuanya sudah menjadi takdir Allah Swt tidak ada sesuatu apapun yang terlepas dari kehendaknya. Hal ini berbeda dengan keyakinan muktazilah. Mereka meyakini bahwa orang yang mati sebab terbunuh atau kecelakaan, itu mati karena kecelakaan bukan atas kehendak Allah Swt. Pandangan ini merupakan pemahaman yang salah. Mereka seakan-akan meyakini bahwa semua yang terjadi di dunia ini terlepas dari takdir Allah Swt, padahal kita yakini bersama bahwa Allah Swt Maha Kuasa atas segalanya. Dalam nazam Jauharh at-Tauhid -kitab yang sangat populer dikalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah- dijelaskan:

وَمَيِّتٌ بِعُمْرِهِ مَنْ يُقْتَلُ * وَغَيْرُ هَذَا بَاطِلٌ لَا يُقْبَلُ

Orang yang dibunuh sekalipun, dia mati sesuai ajalnya. Yang tidak sama dengan pandangan ini adalah batil dan tak diterima. (Jauharah at-Tauhid)

            Karena itu, apabila ajal seseorang sudah tiba entah dalam keadaan bagaimana, tempatnya dimana, mati sebab apa, waktunya kapan, berarti takdir kematiannya sudah tiba. Tidak bisa diakhirkan ataupun dimajukan. Lebih lanjut Allah Swt berfirman:

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌ‌، فَاِذَا جَآءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً‌ وَلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ‏

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat memundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 34)

            Lantas bagaimana dengan hadis Nabi Muhammad Saw berikut ini:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ. (صحيح البخاري)

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia bersilaturrahmi.” (HR. Al-Bukhari)

Bukankah hadis diatas bertentangan dengan al-Qur’an surah al-A’raf ayat 34? Padahal ajal (mati) sudah ditakdirkan oleh Allah Swt sehingga tidak dapat dimajukan ataupun dimundurkan? Serta tidak bertambah ataupun berkurang? Bukankah semua yang ditakdirkan Allah Swt pasti terjadi dan tidak akan berubah?

Menanggapi hadis Nabi Saw diatas imam Nawawi memberikan jawaban yang dikemukakan dalam kitabnya Syarh al-Nawawi ala al-Muslim sebagai berikut:

Pertama, maksud dari dipanjangkan umur ialah bermakna kiasan yang berarti bertambah barakah usianya. Artinya, lantaran menyambung silaturrahmi seseorang akan diberi kemampuan untuk melakukan ketaatan mengerjakan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya, senantiasa melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidupnya sebagai bekal kelak di akhirat sekaligus ia akan dijaga dari segala perbuatan yang bisa menyia-nyiakan umurnya sehingga bisa membuatnya terjerumus dalam lubang dosa. Jadi, sebab silaturrahmi seseorang akan mendapat taufiq (bimbingan) dari Allah Swt agar terjaga dari melakukan perkara yang dilarang.

            Kedua, malaikat Izrail ataupun yang tertulis di Lauh al-Mahfud sudah mengetahui kalau umurnya si Fulan 60 karena ditulis seperti itu. Kecuali jika ia menyambung silaturrahmi maka nanti umurnya akan ditambah dan pada hakikatnya Allah Swt sudah mengetahui umur yang akan ditambahkan itu.

            Dengan begitu, tidak ada sesuatu apapun yang terlewat dari ketentuan Allah Swt karena Allah Swt sudah mengetahui apa yang akan datang (terjadi)  tentang umurnya manusia. Sedangkan jika ditinjau dari sudut pandang manusia mereka akan mengira (menggambarkan) ada penambahan umur, padahal apabila ditinjau dari sudut pandang Allah Swt tidak ada penambahan umur karena Allah Swt sudah mengetahui. Jadi semua ini masih ada dalam wilayah Ilmu Allah Swt dan kuasa takdir Allah Swt meskipun di luar kuasa malaikat Izrail dan Lauh al-Mahfud.

            Oleh karena itu, apa yang ada dalam Ilmu Allah Swt tidak berubah. Sedangkan yang mungkin menerima penambahan ataupun pengurangan adalah apa yang ada dalam ilmu malaikat. Hal ini selaras dengan firman Allah Swt:

يَمْحُوْا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan padanya terdapat Ummul Kitab (Lauh al-Mahfud).” (QS. Ar-Ra’d [13]: 39)

             Jadi penetapan dan penghapusan masuk dalam ranah ilmu malaikat. Inilah yang dinamakan Qada’ Muallaq. Sedangkan apa yang ada dalam Ummul Kitab (Lauh al-Mahfud) adalah sesuatu yang sama sekali tidak ada penambahan maupun pengahapusan karena masuk dalam ranah Ilmu Allah Swt. Inilah yang dinamakan Qada’ Mubra. Wallahu A’lam.

Semoga bermanfaat.

Penulis: Agus Subairi (Mahasantri Ma'had Aly Nuris)

Daftar Pustaka:

KH. Muhyiddin Abdusshomad, Ngaji Tauhid Manhaj Imam al-Asy’ari (Surabaya: Muara Progresif, Cet. I, 2020)

Imam Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (Beirut: Daru Ihyai Turast, Cet. II, 1972)

Ibrahim al-Bajuri, Tuhfah al-Murid (Mesir: Dar al-Salam, Cet. I, 2002)

0 Comments

Top